Aku Hanya Butuh Perhatian

Ditulis oleh Zainal El bughari

Sobat juara, tak satu pun manusia yang lahir ke dunia ini,  ingin terlahir dalam keadaan tidak sempurna. Begitupun kakak beradik ini (Dhimas dan Bagas). Keduanya  mengalami gangguan alat komunikasi dan lambat belajar. Dhimas yang sudah berusia 10 tahun harus menambah satu tahun  masa belajarnya di kelas 2 untuk bisa menemukan potensi dirinya sedikit-demi sedikit. Adapun Bagas, sang adik masih duduk di kelas 1 keadaannya tidak jauh berbeda degan sang kakak. Setelah kami menggali informasi dari berbagai sumber, keadaan kakak beradik ini memang tidak lepas dari kondisi keluarga, peribahasa mengatakan buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kondisi ibu yang cenderung memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi, sepertinya menurunkan gen kepada kakak beradik ini.



(Tanpa bermaksud menyalahkan) Keadaan mereka diperparah dengan kurangnya perhatian orang tua terhadap perkembangan pendidikan. Mungkin pikirnya, "aku lebih baik mencari sesuap nasi daripada sibuk mengurusi segala keperluan sekolah anakku."  Memang, secara ekonomi keluarga mereka jauh dari kriteria keluarga sejahtera. Sang ayah bekerja sebagai buruh serabutan dengan penghasilan tidak seberapa, bahkan kadang tidak berpenghasilan sama sekali. Sang ibu tentu tidak ingin anak-anaknya kelaparan karena tidak ada makanan yang bisa dimakan. Mengemis menjadi pilihan terakhir bagi sang ibu untuk membantu suami menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Setiap hari pergi pagi pulang sore menjadi rutinitas yang sulit untuk ditinggalkan. Bahkan terkadang Dhimas dan Bagas menjadi tameng belas kasih orang kepadanya.

Suatu ketika saya sedang jalan-jalan pagi di alun-alun kota Semarang (simpang lima) dan berteduh di bawah pohon, tiba-tiba dari arah belakang ada suara "pak kasih pak...." berulang - ulang. Sayapun langsung putar badan. Ternyata suara tadi adalah suara ibu Dhimas dan Bagas menyodorkan gelas plastik bekas air mineral yang sudah berisi kepingan uang logam entah berapa jumlahnya. Betapa terkejutnya saya melihat dengan mata kepala sendiri, ibu dan kedua anak tersebut sedang meminta-minta. Sempat terdiam beberapa saat sebelum menyapa dan memberikan sedikit makanan yang saya bawa dari rumah.  Sang ibu dan kedua anaknya menerima makanan yang saya sodorkan lalu pergi melanjutkan langkahnya untuk mengiba.

Belakangan, saya juga pernah memergoki sang ibu sedang duduk-duduk di teras sebuah  mesjid yang berada tak jauh dari sekolah kami sambil memegangi sebuah gelas plastik kosong. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan, setiap hari jum'at ibu itu selalu mangkal di mesjid untuk mengais beberapa keping uang logam jama'ah.

Miris memang melihat ada orang tua siswa kami yang seperti itu, tapi mau bagaimana lagi kami sudah berusaha menasehati, mengarahkan bahkan mencarikan solusi pekerjaan yang lebih baik seperti menjadi buruh cuci rumah tangga. Tapi, karena sudah merasa nyaman dengan meminta-minta, pekerjaan apapun tidak akan bisa merubah profesinya kecuali jika penghasilannya di atas rata-rata pendapatan dari mengemis. Akhirnya, kami memilih untuk fokus menyelamatkan two pearls hidden in the mud. Bagaimana kisah selanjutnya ? . . .

0 Komentar